Recent twitter entries...

Suaka Margasatwa Muara Angke

Photobucket

Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) adalah sebuah kawasan konservasi di wilayah hutan bakau (mangrove) di pesisir utara Jakarta. Secara administratif, kawasan ini termasuk wilayah Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Kawasan yang berdampingan dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk ini, hanya dibatasi Kali Angke dengan permukiman nelayan Muara Angke. Pada sisi utara SMMA, terdapat hutan lindung Angke-Kapuk yang berada di dalam wewenang Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 097/Kpts-II/1998 ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa Muara Angke dengan total luas 25,02 ha. ( Wikipedia ).

Kawasan SMMA mempunyai kurang lebih 31 jenis tumbuhan, 91 jenis burung, kelompok monyet kra dan berbagai spesies reptilia menjadi sangat penting untuk kelangsungan Kota Jakarta. Mengapa penting untuk kelangsungan Kota Jakarta?

Photobucket

Disadari atau tidak SMMA menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai , mencegah terjadinya erosi laut serta sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah untuk wilayah Kota Jakarta. Hutan mangrove membantu kualitas air Kota Jakarta. Air yang masuk hutan mangrove melalui Kali Angke sebagian besar sudah terkontaminasi dan mengandung merkuri (Hg). Begitu masuk hutan mangrove air tersebut tersaring dan kadar merkuri (Hg) berkurang hingga 30%. Betapa hutan mangrove ini sangat berguna untuk kelangsungan hidup Kota Jakarta.

Vegatasi mangrove, seperti Rhizopora mucronata dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu ( Darmiyati et all, 1995 ) serta daun Avicena marina terdapat akumulasi Pb = 15 ppm, Cd = 0,5 ppm, Ni = 2,4 ppm ( Saepulloh, 1995 ).

Pohon-pohon mangrove itu di antaranya adalah jenis-jenis bakau (Rhizophora mucronata, R. apiculata), api-api (Avicennia spp.), pidada (Sonneratia caseolaris), dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha). Beberapa jenis tumbuhan asosiasi bakau juga dapat ditemukan di kawasan ini seperti ketapang (Terminalia catappa) dan nipah (Nypa fruticans) – ( Wikipedia ). Pohon pidada yang ditanam di SMMA ini sudah ada sejak jaman Hindia Belanda. Umurnya mencapai ratusan tahun.


Photobucket

Selain jenis-jenis di atas, terdapat pula beberapa jenis pohon yang ditanam untuk reboisasi. Misalnya asam Jawa (Tamarindus indica), bintaro (Cerbera manghas), kormis (Acacia auriculiformis), nyamplung (Calophyllum inophyllum), tanjang (Bruguiera gymnorrhiza), dan waru laut (Hibiscus tiliaceus) – ( Wikipedia ).

Namun selain vegetasi asli hutan mangrove, ada beberapa tempat yang telah beralih fungsi akibat tingginya tingkat kerusakan hutan. Sebagian rawa yang terbuka ditumbuhi oleh rumput-rumputan, gelagah (Saccharum spontaneum) dan eceng gondok (Eichchornia crassipes).

Banyaknya eceng gondok yang bertebaran di rawa disebabkan limbah fosfat (PO3-) yang sangat berlebihan. Akibatnya, kualitas air di ekosistem air menjadi sangat menurun. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, bahkan sampai batas nol, menyebabkan makhluk hidup air seperti ikan dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga akhirnya mati.

Hilangnya ikan dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem air. Maka tidak mengherankan jika semakin sedikit spesies burung di SMMA. Burung tersebut bermigrasi mencari tempat yang sesuai dengan habitat dan mata rantai yang tersedia.


Photobucket


Adanya eceng gondok yang semakin meluas penyebarannya di SMMA akibat dari air sungai Kali Angke yang membawa banyak fosfat. Eceng gondok ini menjadi indikasi saat air laut menginterupsi ke hutan mangrove. Eceng gondok pun akan mengalami perubahan warna daun seperti terbakar. Seperti terlihat pada gambar di bawah ini :


Photobucket




Comments (0)

Post a Comment