Recent twitter entries...

Malam Tanpa Gemintang


Dalam peradaban manusia, langit yang gelap dengan taburan bintangnya menjadi tempat manusia untuk menanyakan rahasia alam, tempat bertumpunya sastra dan filsafat. Inspirasi bagi puisi cinta dan senandung lagu. Keindahan langit mengagumkan dan selalu menimbulkan kebijakan falsafi. Namun kini, perlahan-lahan manusia kehilangan hal-hal itu karena tak menampakkan dirinya lagi dalam kegelapan yang sejati.

Seiring berkembangnya penduduk, semakin banyak perumahan dan pembangunan jalan serta infrastuktur. Semakin banyak pula penerangan yang dibutuhkan. Hampir semua lampu di pemukiman dan kota tidak diberi tudung yang memadai. Akibatnya, cahaya lampu mangarah ke sana- ke mari dan tak sekedar menerangi aktivitas manusia, tetapi juga menerangi langit di atasnya secara sia-sia. Hal ini merupakan polusi cahaya, indikator pemborosan energi.

Kemampuan masyarakat sekarang ini untuk mencahayai langit, apakah itu untuk keamanan atau untuk keindahan terus meningkat. Jauh sebelum lampu pijar, nyala obor, damar, sentir dan petromax yang dulu merupakan sumber cahaya semakin tergantikan oleh aneka lampu merkuri dalam tabung bertekanan tinggi.

Pencahayaan dan pengamanan lingkungan sebenarnya memerlukan manajemen yang efektif agar penerangan ke bawah, untuk keamanan dan lalu lintas, tidak ikut-ikutan menerangi langit. Demikian juga hal pemasangan papan reklame yang terpampang, cahayanya menyinari lingkungan sekitar secara berlebihan. Pun lampu kendaraan yang simpang siur mewarnai pekatnya malam.

Merebaknya pencahayaan itu menimbulkan efek yang disebut “polusi cahaya” karena membuat langit terang benderang. Penerangan manusia yang berlebihan membuat langit semakin jauh dari keindahan dan rahasianya kian sukar terungkap.

Dahulu, saat manusia hidup dengan minim penerangan, langit benderang tumpah ruah berjuta bintang, berpendar kerlipnya laksana Taman Langit. Langit ditimpa keindahan selendang jalan susu ( Milky Way ) yang bertabur miliaran bintang, melilit langit dari utara ke selatan, merangkul rasi Waluku
( Orion ) hingga Gubug Penceng ( Crux ).

Seandainya manusia merasa nyaman dengan hanya diterangi cahaya bulan dan bintang-bintang, niscaya kita akan mampu beraktivitas dalam kegelapan dengan gembira. Manusia telah merekayasa malam dan konsekuensinya pendaran cahaya itu berdampak luas bagi kehidupan manusia dan alam sekitarnya.

Bagi sejumlah kehidupan seperti spesies yang hidup di malam hari, malam yang gelap sangat dibutuhkan untuk menjalankan daur biologis mereka, mulai dari perpindahan tempat, reproduksi, dan memberi makan pada keturunan. Ketika manusia mengubah tingkat cahaya secara drastis, maka aspek kehidupan tadi segera terpengaruh.

Desain pencahayaan yang berberlebihan telah melunturkan malam dan mengubah secara radikal tataran juga ritme cahaya yang selama ini biasa diterima oleh berbagai jenis kehidupan termasuk diri kita. Kita telah mermperpanjang waktu siang, memendekan malam dan membuat korsleting respon sensitif tubuh manusia terhadap cahaya.

Akhirnya manusia terjebak oleh polusi cahaya. Hidup dalam cahaya menyilaukan buatan sendiri, kita telah memutuskan hubungan dengan warisan evolusi dan budaya kita, yaitu cahaya bintang dan ritme siang malam. Dalam arti sesungguhnya, polusi cahaya telah membutakan kita terhadap tempat kita yang sesungguhnya di alam semesta ini. Perbandingan malam yang pekat dengan gugusan bintang Bimasakti yang melengkung di atas kita.

Kapan lagi kita akan menikmati malam yang menarik dengan gugusan bintang yang terdapat di Galaksi Milky Way mampu meneruskan cahayanya tanpa berbaur dengan sinar yang ada di daratan? Hal yang langka kita nikmati di kota-kota besar dengan berjuta lampu di malam hari.

PS : Gunakanlah lampu penerangan secukupnya, kalau sudah tidak digunakan sebaiknya dimatikan


Comments (0)

Post a Comment